Sabtu, 28 Agustus 2010

Puasa di negeri Orang



















Tidak terasa hai ini sudah hampir masuk ke sepuluh malam terkahir di bulan Ramadhan 1431 Hijriyyah atau bertepatan dengan tahun 2010 ini. Ini adalah kali ke empat saya berpuasa di negeri orang dan kemungkinan besar menjadi tahun ke tiga berlebaran di kampung orang (hicks...sedihnya...). Ada banyak pengalaman baru yg saya dapatkan selama berpuasa dan berlebaran di negeri orang– dan kebetulan semuanya di sumatera- yg memang sebagian besar adalah suku melayu. Saya ingat puasa pertama saya saat itu di Batam, sebuah pulau hutan yg disulap menjadi kawasan industri oleh pak BJ Habibie. Yg berkesan saat berpuasa dan berlebaran di batam saat itu adalah sulitnya mencari makan buat sahur (karena kebetulan saya tinggal di daerah yg agak jauh dari kota – Batuaji). Sehingga kami pun biasa membeli makanan buka plus bungkus buat sahur nanti. Atau kalau beruntung, kami mendapat menu buka di mesjid2. Tidak ada yg berbeda dengan praktik tarawih sebagaimana di Jawa. 3 puasa berikutnya yg memang bagi saya banyak pelajaran dan hal2 baru yg sebelumnya belum saya alami di kampung saya. Puasa pertama di Padang dan 2 terakhir di Pekanbaru, Riau.

Ibadah khas di bulan Puasa di pekanbaru dan umumnya di Sumatera mungkin agak berbeda dengan yg biasa saya jalani di Jawa. Di sini misalnya, sebagian besar masjid mengikuti faham Imam Hanafi (kalo ga salah), yg berpendapat jumlah rekaat tarawih adalah 8 rekaat dengan dua kali salam setiap 4 rekaat, dan shalat witir 3 rekaat sekali salam sebagaimana dalam hadist yg diriwayatkan Sayyidah 'Aisyah (meski sebagian besar Ulama mengaitkannya dengan shalat malam, bukan tarawih). Saya yg sejak lahir procot dibesarkan di lingkungan nahdlyyiin dan pendidikan pesantren dan mengikuti faham Imam Syafi'i awalnya agak canggung dengan terawih model Muhammadiyah ini (tahu sendiri kan, di Jawa fanatisme NU – Muhammadiyyah masih agak kuat). Namun, akhirnya itu tidak menjadi masalah karena ternyata memang sebagian besar di sini mengamalkan hal itu. Tapi masih ada juga beberapa Mesjid (terutama mesjid2 Jami' ) yg mengamalkan hadist Sayyidina 'Umar dengan bertarawih 20 rekaat dengan salam tiap 2 rekaat dan witir dengan 2 kali salam. Seperti misalnya di Mesjid Jami' An Nur atau Mesjid Jami' Sudirman. Namun, anehnya meski menggunakan faham tersebut, sebagian besar mesjid di sini menggunakan Basmalah Jahr dan tidak berqunut meski sudah masuh 15 hari kedua di bulan Ramadhan. Begitulah, keragaman sangat mudah dijumpai di sini dan tidak ada mempermasalahkan..

Ada hal lain yg menarik, di sini sebelum terawih di mulai umumnya diadakan acara mengumpulkan sumbangan untuk masjid dan anak yatim. Banyak istilah yg digunakan, misalnya fastabiqul khairat ataupun dari hati ke hati. Setelah shalat isya', ada petugas yg berputar membaawa bakul dan mengumpulkan sumbangan dari jemaah2. Kemudian setelah selesai dilanjutkan dengan ceramah agama yg umunya berlangsung sekitar 20 menit dan terkahir dilanjutkan dengan shalat teraweh dan witir berjemaah. Kalau di Jawa, umumnya yg menganut tarawih 8 rekaat paling anti dengan hal baru seputar ibadah, mereka menyebutnya dengan bid'ah dan tidak ragu menuduh sesat bagi siapapun yg berani coba2 membuatnya. Namun di sini, meski teraweh 8 rekaat dan imamnya juga ketua Muhammadiyyah, namun tidak alergi dengan hal2 tersebut. Disamping membaca fatihah dengan bismillah jahr, kegiatan semacam fastabiqul khairat pun berlangsung tanpa ada resistensi.


Keunikan lain di sini adalah hampir setiap pesantren yg ada mengirimkan anak santri ke masjid untuk memberi ceramah. Sangat mengesankan melihat anak2 Mts dan Aliyah sudah mahir menyampaikan petuah bijak pada jamaah (jd keingat dulu suka kabur kalau dapet tugas pidoato saat malem kemis di acara khitobah hehe). Meski durasinya hanya sesaat saya yakin itu akan sangat bermanfaat bagi dirinya kelak saat berdakwah, terutama menambah kepercayaan diri.


Satu lagi, hal yg tidak saya jumpai di kampung saya. Meski sebagian besar ulama (kecuali hanafi) mengharuskan zakat fitrah di bayarkan dengan makanan pokok, di sini sebagian besar justru membayar zakat fitrah dengan uang yg jumlahnya sesuai dengan jenis beras yg akan dizakatkan.

Begitulah, orang bijak mengatakan “semakin beragam pengetahuan kita akan semakin tinggi tingkat toleransi kita kepada orang yg berbeda pemahaman dan semakin luas cara pandang kita terhadap perbedaan”....


Di hari lebaran nanti, umumnya diadakan tradisi makan bersama seluruh keluarga. Maka menu rendang khas melayu atau minang pun menjadi santapan khas. Dan bagi perantau seperti saya itu merupakan salah satu hiburan di tengah rasa jenuh dan sedih karena harus jauh dari orang tua.....

Semoga puasa kita tahun ini lebih baik dari tahun kemarin...Amiin...