Jumat, 24 April 2009

Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah...


Salamualaikum Wr.Wb..

Kemaren nih ceritanya hari kartini pas tanggal 21 april, hanya ada di Indonesia. Mengapa harus kartini sebagai pahlawan wanita Indonesia, padahal ada jauh lebih banyak wanita lain yg lebih hebat, apa hubungannya dengan Belanda, mengapa Orde Baru begitu mengkulutskannya...? Tulisan yg saya copy berikut dari website www.hidayatullah.com mungkin bisa membantu mengurai sejarah yg sebenarnya tentang mistos Kartini tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau....Selamat menikmati


Mengapa setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan? Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-269

Oleh: Adian Husaini

Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”

Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”

Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:

“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:

”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).

Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan. [Depok, 20 April 2009/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Jumat, 17 April 2009

Journey to Dumai, An Oil City


Alhamdu qjj hari ini saya libur kerja, lumayan buat istirahat setelah kemaren sempet ada kerjaan di luar kota tepatnya di kota Dumai – kira2 5 jam dari kota Pekanbaru. Kami berangkat jam 11 dan tiba sekitar jam 4 sore. Sengaja saya hanya membawa selembar sarung untuk sholat di jalan nanti karena saya pikir hanya kerja sebentar terus langsung balik lagi. Pak driper bahkan hanya membawa baju yg menempel di badan. Sepanjang perjalan kami melewati kebun sawit dan ladang2 minyak berselang seling milik PT Chevron, perusahaan Explorasi Minyak dunia yg telah menyedot kekayaan Indonesia sejak 30 tahun lalu, atau bahkan lebih. Saya merasa trenyuh menyaksikan kenyataan yang ada, bagaimana mungkin negri yg kaya raya ini bisa dikuasai oleh segelintir orang saja. Jalan2 di sana sini rusak berat akibat tergerus mobil2 besar pengangkut kayu loggging dan truk2 minyak serta sawit. Rumah2 penduduk pun hanya berupa bangunan biasa. Sangat 'njomplang' jika kita sempat masuk ke kompleks karyawan PT Chevron. Jalan, bangunan dan segala fasilitasnya dah mirip2 di Amrik sono....semua bagus dan bersih......Kami melewati beberapa kota seperti Minas, Duri, Pinggir dll...Kata orang duri adalah kecamatan paling kaya se Indonesia karena terdapat PT Chevron di dalamnya.

Tiba di Dumai saya langsung kerja collecting data dan cek signal, karena esoknya akan dilaksanakan launching produk. Tapi ga tau kenapa, tiba2 signal hilang dari pandangan (wkwkwk, mang keliatan..???) dan tes pun gagal total. Saya kemudian pergi ke kota dan iseng2 coba melakukan tes, ternyata berhasil. Kemudian saya jalan terus hingga ke site yg bermasalah tadi dan masih bisa melakukan panggilan. Belakangan saya baru tahu ada masalah di Site tersebut, dimana handset saya tidak bisa mendapatkan layanan. Saat sedang asyik test, adzan magrib pun tiba. Sejenak saya dan pak driper sholat sekalian melepas penat. Beberapa saat kemudian kami lanjutkan pekerjaan. Anehnya, justru setelah sholat magrib, jaringan kembali hancur....gagal total....ah, ada2 aja. Akhirnya kami putuskan mencari hotel dulu karena malam nanti kami masih harus melakukan tes di site lain. Setelah keliling2 kami dapat hotel seharga 80 ribu semalam dengan 2 bed dan telepisi kelir di dalamnya. Tes kedua malam hari itu juga gagal, karena site masih bermasalah. Kami pun balik ke hotel dan istirahat. Kasihan pak Driper, dia ga bawa ganti dan tidur dengan ote2 kata orang jawa.

Pagi2 kami siap melanjutkan pekerjaan lagi. Namun sebelumnya kami smepatkan jalan2 mencari sarapan sambil menikmati keadaan kota Dumai. Kota ini panasnya bukan main, karena bukan hanya dikelilingi ladang2 minyak dan sawit namun juga tepat terletak di tepi laut. Terdapat pelabuhan yg menghubungkan Dumai dengan Batam, Tanjung Pinang dan bahkan Malasyia serta Singapura. Setelah sarapan perjalanan kami lanjuutkan ke site yg berikutnya. Meski sudah beberapa jam kami lakukan tes, masih saja gagal. Akhirnya kami putuskan untuk kembali ke pekanbaru. Namun, Pak boss bilang nanti di perjalanan arah pulang akan ada test 1 site. Ternyata site BALAM KM31 tersebut bukan berada di arah pulang namun arah ke kota medan, 2 jam lagi dari dumai. Kami harus memutar balik dan menuju ke kota tersebut. Sepanjang perjalanan kami jumpai rumah2 suku2 asli melayu yg hidup di hutan2 sawit....jauh dari peradaban. Di perjalanan saya sempatkan makan di warung tradisional, menu hari itu istimewa.....penyetan lele asli rawa2 pedalaman......mak nyoss....dagingnya kenyal dan kaya serat... 1 jam kemudian setelah pekerjaan selesai, kami langsung pulang ke Pekanbaru meski saya ingin istirahat dulu dan besoknya baru balik....Ternyata Pak Driper ngebet pulang karena kangen berat ma istrinya yg lagi hamil muda.....ah, dasar pengantin muda....I just can't imagine what about me if I got someone there....wkwkwk...ngayal2....adus2 kono sik...... Sebelum pulang, kami mampir untuk belanja oleh2 berupa nanas dan sekedar poto2 narsis untuk upload di blog ini.....

Dumai, 180409

Senin, 13 April 2009

What a wonderful holiday...



Assalaamualaikum wr.wb.
dear all.....

Sobat, alhamdu qjj akhirnya kemaren saya bisa pulang setelah hampir setengah tahun mendekam di kota ini. Masa liburan pas pemilu saya manfaatkan untuk kembali re-charge kangen ma keluarga dan silaturahim ke beberapa teman maya saya. Ada beberapa hal unik pas liburan kemaren. Dimulai dari pas beli tiket pekanbaru ke solo, karena saya mau mampir bentar di rumah sahabat di ponorogo. Saya dapet tiket tanggal 9 pake sriwijaya, mahalnya minta ampun. Sebagai perbandingan saya dapet tiket jkt - pku PP seharga 600 ribu dari batavia, namun dari jkt - solo 600 ribu hanya sekali jalan. Padahal perjalanan ke jkt solo hanya sekitar 45 menit sementara jkt - pku 1 jam 15 menit...dan lagi berapapun harga tiket kita tidak menentukan lokasi tempat duduk kita karena siapa yg check in lebih dulu dia bisa pilih kursi, kecuali kelas bisnis tentunya. Dan kalau udah di atas, semua layanan juga sama meski harga tiket berbeda-beda...ah, bener2 membingungkan. Oh ya pas berangkat dari pku saya sempat dagdigdug karena sebenernya tiket saya malam hari namun saya tuker ma punya kawan yg terbang pagi hari, untung saja kita bisa lolos dari pemeriksaan dan segera masuk pesawat. Alhamdu qjj perjalan Lion Air ke jkt mengunakan pesawat baru boeing 737-900 ER yg lumayan gede, jadi lumayan tenang pas diatas. Ada yg ganjil pas saya perhatikan urutan nomer kursi di pesawat ini, ternyata tidak terdapat nomer kursi 13 dan 14, jadi abis 12 langsung 15. Entahlah apa maksudnya, apakah karena alsan teknis dan keamaanan, atau hanya karena pabriknya di Amrik sono yg meski ngaku negara modern namun masih mempercayai tanggal 13 sebagai hari sial.....Oh iya, saya sempet bawa pulang gelas lion air dan kantong plastik batavia buat kenang2an...wkwkwkwk
Sampai jkt saya sempat seperti gelandangan karena menunggu penerbangan ke solo yang masih 6 jam lagi dan ternyata masih delay 1 jam. Sambil nunggu saya ketemu turis yg bawa kabel2 colokan, jadi saya nunut ngecharge Hp ( si turis ini kemana-mana selalu bawa kabel colokan - bisa dicontoh karena di bandara kita susah menemukan outlet ac buat nancepin kabel charger). Eh tau2 di depan saya ada turis dari amrik kalo ga ostrali. Awalnya biasa aja, dia mondar mandir ngeliat jadwal penerbangan di display . Saya dan temen di samping ketawa pas liat dia ngupil tapi abis itu jarinya di masukin mulut...bener2 edan nih turis.... Untung aja Lion nyediain makanan dan minuman buat penumpang yg penerbanganya mengalami delay. Dasar orang desa, saya ambil makanan itu tapi kok rasanya aneh, seperti ketan dengan lauk udang dan nugget. Ternyata kata teman, itu salah satu makanan nasi jepang meski saya ngotot itu ketan sebagaimana yg dijual wakni di desa saya.

Next, perjalan ke solo dilanjutkan...sebenarnya saya agak phobia dengan penerbangan malam apalagi cuaca sedikit mendung dan berawan. Namun, saya terkagum dengan ciptaan qjj ketika berada di langit Solo sesaat sebelum landing. Purnama nampak begitu anggun dan indah dengan cahayanya yg sejuk dari balik awan...Subhaanallah.......Landing di solo saya sempet berkenalan dengan seorang ibu yg berjanji akan mengantarkan saya sampai ke terminal terdekat, karena jujur saja saya sama sekali ga tau kota ini. Nah, pas antri ambil bagasi saya sempet malu diketawin ma orang2. Karena bandara ini masih baru, semua fasilitasnya juga baru, termasuk troly nya yg masih berbalut plastik. Saya ambil satu trolly tapi kok ban yg belakang gabisa jalan. Saya pikir karena masih baru jadi mur nya masih kenceng. Saya ambil yg lain jg begitu akhirnya saya paksain aja jalan.Belakangan saya baru tahu setelah dikasih tahu ibu2 kalau ternyata kita harus tarik pegangannya ke atas biar bisa jalan...ckckckck....bener2 ndeso....
Dari solo perjalan ke ponorogo saya lanjutkan dengan charter mobil minibus seharga 300 ribu bersama seorang teman yg saya kenal di terminal. Sepanjang perjalanan saya hanya bisa nutup idung karena bau asap dari mobil butut yg pembakarannya ga sempurna ini...belum lagi jalanan wonogiri - ponorogo yg naik turun ga karu2an ditambah kondisi tubuh yg dah fatigue karena capek abis....wah bener2 nyiksa. Namun semua terbayar ketika saya bertemu sahabat maya saya yg pertama Kang Yud. Sebagai seseorang yg baru saya
kenal kang Yud terhitung ramah dan baik. Saya dipersilahkan menginap di rumahnya dan malem2 kita sempet nikmatin pecel ponorogo yg mak nyuss itu..makanan yg gapenah saya rasakan sejak 5 ulan terakhir...besoknya saya bertemu ma teman2 maya yg lain, si nitnot wa alaa alihi...Si H-Riz dan adeknya...Lingkungan pedesaan yg asri membuat saya betah dan nyaman di sini ...sawah..sapi...sungai...mengingatkan saya pada masa2 kecil dulu...

Kemudian perjalanan saya lanjutkan ke malang lewat jombang. Meski sempet terlewat dan terpaksa putar balik lewat surabaya, saya puas udah bertemu temen2 yg selama ini hanya berjumpa lewat dunia maya...ada si cantik nuyung, miemie dan temen2nya.......dan 3 jam kemudian saya sampai di kota kesayangan saya....Malang dan kangen2an ma makk dan sodara2.....bener2 liburan yg sempura...

Akhirnya, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada semua terutama :
My Fams - Mba Ti2n 4 the wisdom - Kang Yud - Ica - NitNot wa alaa aalihii- Nuyung - CuMi - Cepix - ndiono - Ko2 - Ma2T - Pa'il dan semua sahabat2 saya...terima kasih atas liburan yg menyenangan....semoga kita bisa jumpa lagi di masa mendatang......I love U All

Salamualaikum...